Sudah lama tidak mengisi reviu film di sini. Terlalu banyak menonton film Hollywood yang mainstream dan kehilangan minat menonton film indie/festival yang cenderung melelahkan untuk dinikmati di waktu senggang.

Lalu tiba-tiba Mr. Babadook muncul dari kegelapan. *sisipkan sound effect horror disini*. Film horror Aussie, indie, sempat diputar di Sundance, dan mendapat banyak kritik positif.

Sebagai tipikal film indie berbiaya rendah, film ini menggunakan sedikit pemain, setting yang sebagian besar di dalam rumah, dan alur lambat yang dibangun dari kepingan kejadian sehari-hari. Maka bersiaplah untuk duduk dengan gelisah di kursi bioskop menanti adegan mencekam sambil mengunyah popcorn dan dialog film. Kalau perlu pergilah menonton di jam tayang terakhir hari Minggu malam untuk mendapatkan efek double horror keesokan paginya (bangun kesiangan karena tidak bisa tidur sampe jam 3 terbayang-bayang sosok Mr. Babadook).

Mungkin terlalu berlebihan jika berharap horror yang mencekam dari film ini. Film ini sejatinya hanyalah psychological thriller yang mengupas kehidupan seorang ibu tunggal dan anaknya, Samuel. Sang ayah meninggal secara tragis dalam kecelakaan ketika mengantar istrinya ke rumah sakit untuk melahirkan si Samuel.

Sang ibu digambarkan depresif (bisa dilihat dari: rambutnya tak pernah tersisir rapi) dan Samuel, yang kini berusia 6 tahun, yang hiperaktif dan mempunyai imajinasi yang kuat, selalu membikin senjata untuk mengalahkan monster yang dia yakini berkeliaran di rumah.

Mr. Babadook adalah tokoh rekaan dalam buku dongeng yang secara tak sengaja ditemukan Samuel di rak buku. Mr. Babadook dikisahkan berusaha masuk ke rumah untuk menghantui penghuninya.

Singkat cerita, Mr. Babadook benar-benar menghantui kehidupan mereka. Kejadian-kejadian buruk terjadi dalam hidup mereka. Mr. Babadook (yang namanya diambil dari suara ketukan pintu: ba-ba-ba dook-dook-dook) berhasil merasuki pikiran dan pada akhirnya jiwa sang ibu.

Buku dongeng Mr. Babadook yang sudah dibuang si ibu muncul secara misterius di depan pintu dan kini berisi gambar-gambar mengerikan seorang ibu yang membunuh seekor anjing dan menggorok leher anaknya lalu lehernya sendiri. Dan bisa ditebak, mendekati akhir film, adegan dalam buku dongeng berangsur menjadi nyata.

spoiler: tenang saja, endingnya sang ibu dan anak tidak mati.

Jujur, saya tidak bisa melepaskan dugaan bahwa film ini sedikit terinspirasi dari The Shining, film horror karya Stanley Kubrick yang fenomenal. Terutama dalam menyajikan tumpang tindihnya antara kegilaan dan hantu gentayangan. Kekuatan jahat selalu berusaha mempengaruhi manusia untuk melakukan hal-hal buruk. Premisnya, hantu tidak membunuh manusia, tetapi manusia yang dirasuki makhluk halus yang akan menyakiti orang lain.

Tetapi tentu saja perlu kecerdasan filmmaker untuk merangkai kisah dimana penonton sendirilah yang seharusnya menyimpulkan apakah makhluk halus itu benar-benar ada atau hanya ada dalam pikiran manusia.

The Babadook secara halus tidak menunjukkan kehadiran si monster secara eksplisit. Si monster hanya hadir pada sang ibu dan anak. Contohnya, satu adegan ketika pekerja sosial datang, serangan kecoa dari balik kulkas hilang seketika.

Pembuat film sengaja meninggalkan ruang-ruang kosong bagi penonton untuk menafsirkan apa yang sebenarnya terjadi. Salah satu dialog yang memberi petunjuk besar di film ini menurut saya adalah bahwa sang ibu pernah (atau mungkin masih) menjadi penulis buku cerita dongeng anak-anak. Ini menjelaskan kehadiran buku The Babadook dan imajinasi Samuel yang meluap.

Akhir kata, film ini bukan film horror yang menjanjikan katarsis bagi penontonnya setelah dilanda ketegangan dan menjerit sepanjang film. Film ini harus disimak dengan serius, sabar dan fokus pada dialog dan perkembangan psikologi tokoh-tokohnya. The Babadook akan berkata pada penontonnya “Let me in” lalu penonton sendiri yang menentukan akan menyerahkan dirinya pada sang Babadook atau keluar studio bioskop dengan bersungut-sungut karena kecewa.

Disadur dari artikel ‘The Dalai Lama’s Ski Trip’ by Douglas Preston

Pada pertengahan ’80-an, saya tinggal di Santa Fe, New Mexico, hidup seadanya dengan menulis artikel majalah, ketika saya mendapat tawaran pekerjaan yang tidak biasa. Saya akrab dengan sekelompok orang Tibet di pengasingan yang tinggal di daerah Canyon Road. Mereka berbisnis dengan menjual karpet Tibet , perhiasan, dan barang-barang religius. Orang-orang Tibet menetap di Santa Fe karena gunung-gunungnya, gedung bata kering, dan ketinggian tanahnya mengingatkan mereka pada kampung halaman.

Pendiri komunitas Tibet adalah seorang pria bernama Paljor Thondup . Thondup meloloskan diri dari invasi Cina ke Tibet ketika dia masih kecil, melintasi Himalaya bersama keluarganya dalam perjalanan penuh petualangan mengendarai yak (sapi Tibet) dan kuda. Thondup berhasil sampai ke Nepal, melanjutkan perjalanan ke India, di mana ia lalu bersekolah di Pondicherry dengan pengungsi Tibet lainnya. Suatu hari, Dalai Lama mengunjungi kelasnya. Bertahun-tahun kemudian, di Dharamsala, India, Thondup akhirnya berbicara secara pribadi dengan Dalai Lama, yang mengatakan kepada Thondup bahwa ia tidak pernah melupakan remaja cerdas di sebuah kelas di Pondicherry, yang melambaikan tangannya dan menjawab setiap pertanyaan, sementara siswa lain duduk terkesima. Mereka menjalin kontak. Dan Thondup akhirnya merantau ke Santa Fe.

Dalai Lama menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1989. Thondup, yang mendengar rencana tur Dalai Lama ke Amerika Serikat, mengundangnya untuk mengunjungi Santa Fe. Dalai Lama menerima undangan itu dengan senang hati dan mengatakan ia akan tinggal selama seminggu. Pada saat itu, ia bukan selebriti internasional seperti sekarang. Dia bepergian dengan hanya beberapa biksu, yang kebanyakan tidak bisa berbahasa Inggris . Dia tidak punya asisten, penerjemah, koordinator pers, atau koordinator perjalanan. Dia juga tidak punya uang. Mendekati hari kunjungan Dalai Lama, Thondup semakin panik. Dia tidak punya uang untuk membiayai kunjungan tersebut dan tidak tahu bagaimana mengaturnya. Dia menghubungi satu-satunya orang yang ia kenal di pemerintahan, seorang pemuda bernama James Rutherford , yang mengurus galeri seni di kantor gubernur negara bagian. Rutherford bukan orang yang berkuasa di negara bagian New Mexico, tapi dia punya bakat berorganisasi. Dia bersedia mengatur kunjungan Dalai Lama.

Rutherford mencari bantuan dengan menelepon banyak orang. Dia meminjam limusin dari seorang penjual karya seni yang kaya, dan ia meminta saudaranya, Rusty, untuk menyetirnya. Dia membujuk pemilik Rancho Encantado, sebuah resor mewah di luar Santa Fe, untuk menyediakan tempat menginap dan makanan untuk Dalai Lama dan para biksu. Dia menelepon polisi negara bagian untuk mengatur detail keamanan.

Saya termasuk salah satu yang ditelepon Rutherford. Dia meminta saya untuk bertindak sebagai sekretaris pers Dalai Lama. Saya menjelaskan kepada Rutherford bahwa ia memilih orang yang salah, bahwa saya tidak punya pengalaman di bidang itu, dan semua bisa kacau. Rutherford mengatakan bahwa ia tidak punya waktu untuk berdebat. Dia menjelaskan bahwa Dalai Lama adalah orang yang akan berhenti di jalan dan berbicara kepada siapa pun yang bertanya kepadanya. Dia memperlakukan semua orang sama, dari presiden Amerika Serikat sampai gelandangan di jalan. Dia akan mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk setiap orang. Seseorang harus mengatur para jurnalis dan menjaga Dalai Lama dari serangan pers. Dan orang itu adalah saya.

Saya sangat membutuhkan uang saat itu, jadi saya setuju. Sesaat sebelum Rutherford hendak menutup telepon, saya bertanya berapa saya akan dibayar. Dia menjadi ragu dan mengatakan bahwa dia kecewa dengan pertanyaan saya. Bagaimana mungkin saya berpikir tentang bayaran untuk sebuah kesempatan menghabiskan seminggu dengan Yang Mulia ? Sebaliknya, para relawan justru diharapkan memberi, bukan menerima. Selembar surat persetujuan ada di hadapannya, lalu dia bertanya berapa saya bisa berkontribusi?

Saya menjanjikan 50 dolar.

Dalai Lama tiba di Santa Fe pada tanggal 1 April 1991. Saya berada di sisinya setiap hari dari jam 6 pagi sampai malam hari. Bepergian dengan dia adalah sebuah petualangan. Dia ceria dan sangat periang—berkelakar, tertawa, bertanya, mengusap kepalanya yang plontos, dan bercanda tentang bahasa Inggrisnya yang buruk. Dia bahkan tiba-tiba berhenti dan berbicara kepada siapa pun, tidak peduli berapa banyak orang yang berusaha membujuknya untuk segera menuju pertemuan berikutnya. Ketika ia berbicara kepada Anda, ia mencurahkan seluruh simpati, perhatian, kepedulian, dan minat pada Anda.

Dia bangun setiap pagi pada pukul 3:30 dan bermeditasi selama beberapa jam. Walaupun ia biasanya pergi tidur lebih awal, di Santa Fe ia harus menghadiri makan malam sampai larut malam hampir setiap hari. Akibatnya, setiap hari setelah makan siang kami membawanya kembali ke Rancho Encantado untuk tidur siang.

Para jurnalis dari berbagai negara bagian datang untuk meliput, jauh lebih banyak dari yang saya perkirakan. Ada puluhan reporter dan kru televisi. Saya tidak tahu apa yang saya lakukan . Selama seminggu itu, banyak orang yang marah pada saya dan satu rekan jurnalis menyebut saya “idiot.” Tapi saya bertahan di tengah kekacauan. Dalai Lama bertemu para politisi , bintang film, guru New Age, milyarder, dan para pemimpin Pueblo Indian. Pada hari kedua kunjungannya, Dalai Lama makan siang dengan Jeff Bingaman dan Pete Domenici, para senator dari New Mexico, dan Bruce King, gubernur New Mexico. Selama makan siang, ada yang mengatakan bahwa Santa Fe memiliki area ski. Dalai Lama tertarik dan mulai mengajukan pertanyaan tentang ski – bagaimana hal itu dilakukan, apakah itu sulit, siapa yang melakukannya, seberapa cepat mereka meluncur, bagaimana caranya agar tidak jatuh ke bawah .

Setelah makan siang, rombongan pers bubar. Biasanya tidak terjadi apa-apa ketika Dalai Lama dan para biksu kembali ke Rancho Encantado untuk tidur siang. Tapi kali ini sesuatu terjadi. Setengah perjalanan menuju penginapan, limo Dalai Lama berhenti di sisi jalan. Saya berada di dalam mobil Thondup yang mengikuti di belakang limo. Lalu mobil kami juga ikut menepi. Dalai Lama keluar dari limusin dan berjalan ke kursi depan. Kami melihatnya berbicara pada Rusty, si sopir . Sesaat kemudian Rusty keluar dari limusin dan datang pada kami dengan ekspresi cemas di wajahnya. Dia bersandar di jendela.

“Dalai Lama mengatakan dia tidak lelah dan ingin pergi ke pegunungan untuk melihat ski. Apa yang harus saya lakukan?”

“Jika Dalai Lama ingin pergi ke lembah ski,” kata Rutherford, “Kita pergi ke lembah ski.”

Limusin berputar arah, dan kami semua kembali melewati kota dan menuju ke pegunungan. Empat puluh menit kemudian kami sampai di lembah ski. Musim ski sudah hampir berakhir saat itu, tapi ski area masih dibuka untuk umum. Kami berhenti di bawah pondok utama. Para biksu bergegas keluar dari limusin.

” Tunggu di sini sementara aku memanggil seseorang, ” kata Rutherford.

Dia menghilang ke arah pondok dan kembali lima menit kemudian dengan Benny Abruzzo, salah seorang dari keluarga pemilik ski area. Abruzzo tercengang melihat Dalai Lama dan para biksu berjalan-jalan di salju hanya mengenakan jubah.

Hari itu adalah hari cerah di bulan April, hari yang sempurna untuk bermain ski di musim semi—suhu di atas 10oC, bukit-bukit salju penuh dengan pengunjung, salju lembut seperti  “mashed potatoes.” Dalai Lama dan para biksu memperhatikan keadaan sekelilingnya dengan antusias, suara lift, orang-orang yang berseluncur, dan bukit yang menggapai langit biru.

” Bisakah kita naik ke puncak gunung?” Dalai Lama bertanya pada Rutherford .

Rutherford berpaling ke Abruzzo . “Dalai Lama ingin naik ke puncak gunung . ”

“Maksudmu, naik lift? Berpakaian seperti itu? ”

“Well, bisakah dia melakukannya?”

“Mungkin. Hanya dia, atau… ?” Abruzzo melihat ke arah para biksu lainnya .

“Semua orang,” kata Rutherford. “Mari kita semua pergi ke puncak.”

Abruzzo berbicara kepada operator lift. Lalu ia menyeruak antrian pengunjung untuk membuka jalan bagi kami, dan membuka pembatas antrian. Ratusan pengunjung menatap heran ketika empat biksu, berjalan rapat, mencengkeram lengan masing-masing dan melangkah kecil, maju ke depan. Di bawah jubah merah marun dan jingga, Dalai Lama dan para biksu semua memakai sepatu yang sama: sepatu Oxford. Sepatu itu tidak cocok untuk berjalan di salju. Para biksu tergelincir dan terpeleset hingga saya yakin bahwa jika satu orang jatuh maka yang lain akan ikut jatuh.

Kami berhasil sampai ke lift tanpa terjatuh, operator menghentikan mesin, satu per satu naik ke kursi dengan kapasitas empat orang. Saya duduk di samping Dalai Lama, bersama Thondup di samping kiri saya.

Dalai Lama berpaling pada saya. “Ketika saya datang ke kota Anda,” katanya, “Saya melihat banyak gunung yang tinggi. Pegunungan yang indah. Dan sepanjang minggu ini saya ingin pergi ke pegunungan.” Dalai Lama memiliki gaya berbicara yang tegas, di mana ia memberi tekanan pada kata-kata tertentu. “Dan saya mendengar banyak tentang olahraga ini, ski. Saya tidak pernah melihat orang bermain ski sebelumnya.”

“Anda akan melihat orang bermain ski tepat di bawah kita saat lift naik,” kata saya.

“Bagus! Bagus!”

Lift mulai naik. Kursi lift sudah tua dan tidak ada besi pengaman yang bisa diturunkan untuk perlindungan, tapi ini tampaknya tidak menjadi masalah bagi Dalai Lama, yang berbicara penuh semangat tentang segala sesuatu yang dilihatnya di lereng gunung. Dalai Lama menunjuk ke udara dan membungkuk ke depan. Thondup, yang mencengkeram lengan kursi hingga jari-jarinya memutih, terus menegur Dalai Lama dalam bahasa Tibet. Kemudian dia mengatakan kepada saya bahwa ia memohon Yang Mulia untuk segera duduk bersandar dan berpegangan, serta tidak banyak bergerak ke depan .

“Betapa cepatnya mereka meluncur!” Kata Dalai Lama. “Dan anak-anak bermain ski! Lihat anak kecil itu!”

Kami sedang melihat ke arah bukit kecil dimana orang yang bermain ski tidak bergerak cepat sama sekali. Tak lama setelah itu, pemain ski yang lihai muncul dari lereng yang lebih tinggi. Dalai Lama melihatnya dan berkata, “Lihat—dia terlalu kencang! Dia akan membentur tiang!” Dia menangkupkan tangannya, berteriak ke pemain ski, “Awas tiang!” Dia melambaikan tangannya dengan panik.”Awas tiang!”

Pemain ski, yang tidak tahu bahwa seorang Dalai Lama berteriak untuk menyelamatkan hidupnya, melihat ke arah depan saat ia mendekati tiang, menggeser  sedikit posisinya, dan terus menuruni bukit dengan lincah.

Dalai Lama duduk kembali dan menggenggam tangannya. “Anda lihat? Ah! Ski ini adalah olahraga yang mengagumkan! ”

Kami mendekati puncak gunung. Abruzzo menghentikan lift satu per satu hingga semua orang turun. Para biksu dan Dalai Lama berhasil turun dari kursi lift lalu berjalan berkelompok di salju yang lembek, dengan langkah terseret hati-hati .

“Lihatlah pemandangannya!” Dalai Lama berseru, lalu berjalan menuju pagar batas belakang area ski, di belakang lift, di mana lereng gunung menurun. Dia berhenti di pagar dan menatap ke selatan. Lembah ski Santa Fe, terletak di puncak paling selatan di pegunungan Sangre de Cristo, adalah salah satu area ski tertinggi di Amerika Utara. Salju, pohon cemara dan pegunungan biru menaungi hamparan gurun berwarna jingga 5.000 kaki di bawahnya, membentang jauh ke cakrawala.

Ketika kami berdiri, Dalai Lama berbicara penuh semangat tentang pemandangan, pegunungan, salju dan gurun. Setelah beberapa saat ia terdiam, dengan nada sedih ia berkata, “Ini terlihat seperti Tibet.”

Para biksu menikmati pemandangan cukup lama, lalu Dalai Lama menunjuk ke sisi berlawanan dari area ski, di mana terdapat pemandangan puncak gunung setinggi 12.000 kaki. ” Kemarilah, ada pemandangan lain di sini!” Dan mereka beranjak, berkelompok, bergerak cepat melewati salju .

“Tunggu!” Seru seseorang. “Jangan berjalan di depan lift!”

Kejadiannya begitu cepat. Saya melihat operator, tergopoh-gopoh berjuang untuk menghentikan lift, tapi ia tidak bisa menekan tombol tepat pada waktunya. Saat itu empat gadis remaja baru turun dari kursi lift dan meluncur turun lurus dalam kelompok. Terdengar suara jeritan melengking, saat mereka menabrak Dalai Lama dan para biksu, mendorong mereka seperti pin bowling berwarna merah dan kuning. Para remaja dan biksu semua jatuh berkelindan.

Kami bergegas mendekat, khawatir Dalai Lama terluka. Kekhawatiran terburuk kami semakin nyata ketika kita melihat dia tergeletak di salju  wajahnya pucat, mulutnya terbuka dan bergumam. Apakah punggungnya patah? Haruskah kita mencoba untuk memindahkan dia? Dan kemudian kita menyadari bahwa ia tidak terluka sama sekali, tapi malah tertawa .

“Di area ski, mata Anda harus terbuka selalu!” Katanya.

Kami menolong para biksu dan para gadis lalu mengarahkan Dalai Lama jauh dari jalur lift, agar dapat memandang pegunungan bersalju New Mexico dengan aman.

Dia berbalik pada saya. “Kau tahu , di Tibet kita memiliki gunung besar.” Dia berhenti. “Saya pikir, jika Tibet merdeka, kita bisa bermain ski dengan baik! ”

Kami turun gunung dengan lift dan menuju ke pondok untuk beristirahat sambil menikmati kue dan cokelat panas. Dalai Lama tampak sangat bahagia. Dia bertanya pada Abruzzo tentang olahraga ski dan tercengang ketika mendengar bahwa orang berkaki satu pun bisa melakukannya .

Dalai Lama berpaling ke Thondup. “Anak-anakmu, apakah mereka bermain ski juga?”

Thondup mengiyakannya .

“Bahkan anak-anak Tibet pun bermain ski!” Katanya, sambil bertepuk tangan dan tertawa riang. “Ya, olahraga ini mengagumkan!”

Ketika kami selesai, seorang pelayan, perempuan muda berambut pirang kusut dan berikat kepala membersihkan meja kami. Dia berhenti sejenak untuk mendengarkan percakapan lalu duduk, meninggalkan pekerjaannya. Setelah beberapa saat, saat semua terdiam, dia berbicara kepada Dalai Lama. “Anda tidak suka kuenya?”

“Tidak lapar, terima kasih.”

” Bisakah aku, eh, mengajukan pertanyaan?”

“Silakan.”

Dia berbicara dengan sangat serius. “Apakah arti hidup ini?”

Selama satu minggu saya bersama Dalai Lama, semua pertanyaan telah ditanyakan—kecuali yang satu ini. Orang takut untuk menanyakan satu pertanyaan—yang sangat besar—ini. Hening. Semua diam tertegun di meja.

Dalai Lama segera menjawabnya. “Makna hidup adalah kebahagiaan.” Dia mengangkat jarinya, membungkuk ke depan , menatap perempuan itu seolah-olah dia adalah satu-satunya orang di dunia. “Pertanyaan yang paling sulit  bukanlah “Apakah makna hidup?’ Itu adalah pertanyaan yang mudah untuk dijawab! Pertanyaan yang paling sulit adalah apa yang menyebabkan kebahagiaan. Uang? Rumah mewah? Kesuksesan? Teman-teman? Atau… ” Dia terdiam sesaat. “Kasih sayang dan kebaikan? Satu pertanyaan yang harus dijawab semua manusia adalah: Apa yang menyebabkan kebahagiaan sejati?” Dia memberi penekanan khusus pada pertanyaan terakhir ini,  kemudian terdiam, menatap perempuan itu dengan senyum.

” Terima kasih,” katanya, “terima kasih.” Dia bangkit sambil membereskan tumpukan piring dan gelas kotor, kemudian pergi.

Sudah lama sekali saya tidak membaca artikel kajian budaya, dan selama itulah saya jarang sekali menulis. Kesempatan langka sekali ketika saya bisa meluangkan waktu membaca buku Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif terbitan Jalasutra. Ada satu artikel menarik karya Yasraf Amir Piliang berjudul Antara Minimalisme dan Pluralisme: Manusia Indonesia dalam Serangan Posmodernisme, yang akan saya ringkaskan di sini.

Bagian yang paling menarik dari artikel itu adalah mengenai pembagian manusia posmodern, yaitu sebagai manusia minimalis dan manusia pluralis.

Manusia minimalis adalah manusia dalam kondisi diri minimal, terjerat dalam minimalisme perspektif dan visi. Manusia minimalis mempunyai dorongan yang kuat untuk tetap survive dan eksis dalam kehidupan dengan mendapatkan kedudukan, status, dan pengakuan sosial, meskipun mengetahui kondisi diri dan lingkungannya tidak mendukung. Ciri-ciri manusia posmodern minimalis adalah:

1. Manusia Ironis

Pada dasarnya, manusia ironis ini tidak memiliki batas benar-salah atau baik-buruk. Manusia ironi cenderung untuk inkosisten, berlebihan, anomali, janggal, di luar batas, kontradiktif, dan abnormal. Demi hasrat untuk tetap survive dan eksis, manusia ironi akan meninggalkan rasionalitas dan menggantinya dengan berbagai ilusi, pretensi, kebohongan, dan mitos-mitos dirinya.

2. Manusia Skizofrenik

Manusia skizofrenik cenderung tanpa ego. Para skizofrenik akan membebaskan diri dari berbagai aturan keluarga, masyarakat, negara, bahkan agama dalam rangka melepaskan semua dorongan hasrat purba dalam diri manusia. Manusia skizofrenik hidup di dalam medan kehidupan sosial yang di dalamnya seseorang tidak pernah berhenti pada kedudukan (sosial, spiritual, politik) yang tetap dan konsisten. Manusia skizofrenik menerima segala kontradiksi diri dengan melakukan berbagai hal yang bertentangan secara logika, prinsipil, formal, dan ideologis.

3. Manusia Fatalis

Manusia fatalis tidak berdaya dalam kekuasaan objek, terserap dalam logika objek (logika TV, gaya hidup) dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Manusia fatalis adalah manusia layar, yang sebagian besar ruang-waktunya dihabiskan di depan layar (TV, komputer, HP, ATM), dan terserap dalam logika layar, sehingga tidak bisa membedakan antara dunia layar dengan realitas.

Di sisi lain, ada manusia pluralis, yang berusaha melakukan revisi atau rekonstruksi terhadap konsep dirinya sebagai subjek, dengan membangun kehidupan yang dialogis, komunikatif, toleran, dan intersubjektif. Ciri-ciri manusia pluralis adalah:

1. Manusia Dialogis

Manusia dialogis memandang orang lain sebagai partner dialog, mengutamakan pemahaman atas orang lain, untuk memahami dan membangun dirinya sendiri. Manusia dialogis terlibat aktif dalam proses pertukaran sosial, menghargai keanekaragaman dan pluralitas. Bentuk penghargaan terhadap keanekaragaman diwujudkan dalam komunikasi dan dialog intensif, sehingga tumbuh sikap perlunya memecahkan persoalan bersama.

2. Manusia Aktivis

Manusia aktivis berupaya membentuk dunia sosialnya secara aktif, terlibat dalam berbagai aktivitas untuk merebut kembali subjektivitas. Secara ideal, manusia aktivis tidak bergantung pada aturan-aturan dan kebutuhan material yang bersifat historis. Manusia aktivis memproduksi sejarahnya sendiri melalui kreasi kultural dan perjuangan sosial.

3. Manusia Multikulturalis

Multikulturalisme adalah keyakinan bahwa relasi pluralitas yang di dalamnya terdapat problem minoritas vs mayoritas, harus dibangun berdasarkan pengakuan atas persamaan, kesetaraan, dan keadilan.

Dalam konteks Indonesia, menurut Yasraf Amir Piliang, posmodernisme minimalis cenderung mendapat respons, sehingga manusia ironi, skizofrenik, dan fatalis lebih hidup. Pluralisme yang hidup hanyalah pseudo-pluralism, yang justru menghidupkan totalitarianisme kecil.

Pernahkah membayangkan bagaimana membangun sebuah situs pertemanan atau jejaring sosial dengan jutaan anggota? Film The Social Network menyajikan bagaimana peliknya mengembangkan situs Facebook. Mark Zuckerberg (diperankan oleh Jesse Eisenberg) dan sahabatnya Eduardo Saverin (Andrew Garfield) memulai facebook dari kamar asrama di Harvard. Anggotanya mula-mula adalah para mahasiswa Harvard, sebelum kemudian berkembang ke kampus-kampus lain hingga mendunia.


Film ini bukan semata film dokumenter yang menceritakan kesuksesan facebook. Mungkin ada beberapa elemen fiksi yang ditambahkan, hinga film ini menjadi kaya dengan konflik, namun tetap natural karena memang diangkat dari kisah nyata.

Maka kita bisa saksikan bagaimana jalinan persahabatan antara Mark dan Eduardo yang perlahan-lahan retak karena perbedaan ide, yang diperparah dengan munculnya Sean Parker (Justin Timberlake) founder Napster yang memberi banyak ide bagi perkembangan facebook.

Titik berat film ini adalah karakter Mark Zuckerberg yang nerd, agak misterius, dan cenderung antisosial. Sebagai programmer handal, ia ternyata sedikit mencuri ide tentang jejaring sosial itu dari sekelompok mahasiswa kaya yang merekrutnya untuk membuat jejaring sosial kampus Harvard. Alih-alih membantu mereka, Mark justru mengembangkan sendiri jejaring sosial yang awalnya diberi nama TheFacebook. Lalu dengan santainya ia bahkan mendepak sahabatnya sendiri, Eduardo, ketika facebook telah berkembang sebagai perusahaan. padahal, Eduardo lah yang menyandang dana sejak pendirian facebook.

Dengan penyajian alur bolak-balik, film ini menjadi enak untuk diikuti. Kisah berkelindan antara masa-masa awal Mark membangun facebook dan sidang-sidang yang dilalui Mark (ia dituntut Eduardo dan 3 mahasiswa Harvard yang menuduhnya mencuri ide).

Kisah Mark Zuckerberg pun menjadi ironi, bagaimana seorang yang mendirikan jejaring sosial dengan ratusan juta anggota sesunguhnya bukan seorang teman yang baik.

The Social Network diprediksi akan menjadi kompetitor yang cukup kuat dalam ajang Oscar nanti. Akting Jesse Eisenberg sebagai Mark Zuckerberg patut diperhitungkan.  Mungkin Justin Timberlake berambisi masuk nominasi dengan penampilannya sebagai Sean Parker ‘badboy’  pendiri Napster  yang cukup mencuri perhatian. Tapi Andrew Garfield sebagai seorang yang disia-siakan sahabatnya sendiri juga bermain apik.

Secara keseluruhan, The Social Network akan menjadi film klasik sebagai penanda semangat jaman ketika internet dan jejaring sosialnya menjangkau dunia.

9/10

Suatu malam saya bermimpi dikejar-kejar penjahat, lalu bersembunyi di balik mobil, berlarian di antara lorong-lorong gedung. Menegangkan, seperti dalam sebuah film thriller.

Lain waktu, saya kebelet pipis tengah malam. Dalam mimpi, saya beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke toilet, belum sempat saya memelorotkan celana, saya terbangun. Lalu dengan setengah sadar saya berjalan ke toilet. Belum sempat pipis, saya kaget dan terbangun lagi. Jiaah… ternyata masih mimpi. Mimpi di dalam mimpi!

Apapun bisa terjadi di dunia mimpi. Mimpi seperti labirin yg kita tidak tahu akan membawa kita kemana, dan dimana jalan keluarnya. Kita baru tersadar bahwa itu mimpi ketika kita terbangun dari tidur.

Adalah Christoper Nolan, yang memvisualkan mimpi dalam film terbarunya, Inception. Dengan didukung cast sekelas Leonardo DiCaprio, Joseph Gordon-Levitt, Ellen Page, Marion Cotillard, hingga Ken Watanabe, maka tak salah jika ekspektasi penoton sangat tinggi. Dan Nolan benar2 membayarnya dengan menyuguhkan film kelas tinggi yang menyisakan diskusi panjang begitu penonton meninggalkan teater…

Menonton film ini rasanya seperti berbagi mimpi dengan penonton di seluruh dunia, lalu kita membicarakan tentang mimpi itu setelah terbangun. Jika belum menonton, sebaiknya segera beli tiket, lalu bergabung dengan jutaan manusia lain untuk ikut berbagi mimpi karya Nolan ini…

Susah juga membuat review yg baik tentang film ini tanpa memberi sedikit spoiler. Jadi maaf saja bagi yang belum nonton. Sebuah mimpi memang tidak akan menarik lagi jika sebelum tidur kita sudah tahu akan mimpi apa. Makanya, sebelum Inception dirilis, jalan cerita film ini tidak pernah terekspose. Baru setelah film tayang, bermunculan berbagai analisa dan interpretasi atas film ini.

Saya disini akan menganalisa sedikit tentang alur cerita. Setidaknya ada 2 garis cerita. Yang pertama, misi Cobb (Leonardo Dicaprio) dan timnya untuk melakukan insepsi (memasukkan ide ke dalam bawah sadar seseorang). Kedua cerita retrospeksi Cobb mengatasi rasa kehilangan atas istrinya, Mal (Marion Cotillard). Cerita pertama tentu beralur maju, adegan menegangkan dibangun hingga kita bertanya-tanya apakah misi mereka berhasil atau gagal. Sementara cerita kedua beralur mundur, kita dibuat penasaran akan apa yg awalnya terjadi pada Cobb dan Mal.

Menariknya, kedua cerita itu dibingkai dalam satu rangkaian mimpi, atau lebih tepatnya mimpi di dalam mimpi, terdiri dari 3 level mimpi. Disinilah film menjadi rumit, dan terjadilah ‘indeterminasi’ , ada yg menyebutnya plot-holes, titik-titik dimana penonton dapat melakukan interpretasi. Indeterminasi atau  gap-nya adalah antara mimpi dan realitas di sana, yang hampir tak terjelaskan sepanjang film.

Beberapa petunjuk dapat dirujuk untuk mengisi ‘gap’ dan berinterpretasi, mana realitas dan mimpi. Petunjuk itu, secara cedas, dihadirkan lewat beberapa penjelasan ilmiah tentang mimpi. Pertama, tentang bagaimana perbedaan relativitas waktu antara realitas dan mimpi. Kedua, tentang bagaimana membangun ruang dalam mimpi dan mengendalikannya. Ketiga, tentang totem, benda untuk menandai dan membedakan realitas dan mimpi. Keempat, yg menjadi premis film, adalah bagaimana ekstraksi dan insepsi ide dilakukan di alam bawah sadar.

Kerumitan film ini, menurut saya hanya terjadi karena penggabungan 2 cerita di atas. Kisah Cobb dan Mal sendiri bisa berdiri sendiri sebagai sebuah film drama surealis-psikologis. Lalu kisah misi itu punya bobot sama dengan aksi sci-fi sekelas Matrix.

Yang briliant dari Inception adalah penggabungan drama dan aksi sci-fi, dalam bingkai dunia mimpi. Christopher Nolan sekali lagi berhasil menyajikan kompleksitas dari ide-ide cerita sederhana, seperti yang pernah dilakukannya saat membesut Memento. Nolan tampaknya berhasil melakukan insepsi ide ke dalam bawah sadar penontonnya. Apa ide tersebut? Tergantung interpretasi masing-masing.

“Minggu Pagi di Victoria Park” (MVdVP) adalah film Indonesia yg pertama saya tonton di tahun 2010 ini, dan bener-bener puas. Film yg nggak mengecewakan.  Dengan hadirnya film karya seorang sutradara perempuan ini, sineas pria di negeri ini harusnya malu jika hanya bisa bikin film yg mengumbar syahwat.

Saya ingat, dulu pernah nonton filmnya Lola Amaria yg judulnya Betina di kampus. Film itu menurut saya bagus, meskipun surrealis, tapi tetep tidak kehilangan benang merah ceritanya. Jika film pertama Lola cenderung surealis, maka film keduanya adalah realis.

Nah, ekspektasi saya dengan film kedua Lola Amaria ini adalah rangkaian ceritanya akan apik, dan lagi menyajikan realita kehidupan TKW di hongkong. Jika pernah nonton film dokumenter Pertaruhan, kita akan tau kalo beberapa hal di MPdVP itu adalah potret realitas. Apalagi dengan sinematografi yg baik, film ini jadi sangat sedap dipandang. Hongkong dipotret sebagai kota yg indah, seindah harapan para TKW. Bukan gambaran Hongkong yg suram ala film gangster.

Dan ekspektasi saya terbayar. MPdVP memang menyuguhkan jalinan cerita yg jernih, dengan benang utama kisah Mayang yg datang ke Hongkong hanya untuk mencari Sekar, adiknya. Dari situ, konflik mulai dibangun dengan latar lika-liku kehidupan TKW.  Mayang bimbang dengan keputusannya mengejar sang adik ke Hongkong. Ia sebenarnya tak pernah akur dengan adiknya.

Cerita-cerita sampingannya memperkuat konflik utama. Keluarga majikan Mayang yg baik. Sari yg diporotin imigran India pacarnya. Ada Agus dan Yati, sepasang TKW yg lesbian. Gandi pegawai konsulat yg dekat dengan para TKW dan mau menolong Mayang mencari Sekar. Juga ada Vincent, orang Indonesia keturunan yg jadi pedagang di Hongkong, yg naksir Mayang. Alur utama dan sampingan berjalan selaras hingga mencapai klimaks dan penyelesaian yg rapi. Tidak ada kesan untuk mendramatisir, bahkan tidak ada satupun karakter antagonis di film ini. Yang antagonis adalah situasi, khas film realis banget.

Kalo ada yg bilang kekurangannya di beberapa adegan yg agak maksa (pesan sponsor kali yee) dan kemunculan karakter Gandi yg kurang pas (dan katanya lagi2 ini pesan sponsor juga..). Menurut saya itu semua nggak mengganggu jalan cerita. Karena cerita dan konfliknya dibuat sederhana dan serealistis mungkin, jadi ditambah adegan apa pun di luar cerita juga nggak masalah.

Film ini mengingatkan saya pada film-film drama Hongkong yg sering diputar di TV tahun-tahun 1990-an (bukan yg film vampir-vampiran lho). Cukup realis, tapi enak diikuti karena porsi dramanya pas. Juga mengingatkan pada kepiawaian sineas Iran merangkai cerita sederhana dan membalutnya dalam konflik batin antarmanusia. Jika film ini mampu juga berbicara di kancah internasional, dengan melihat film-film Indonesia yg pernah berjaya di festival film, maka kesimpulan saya wajah film Indonesia yg bagus adalah yg cenderung bercorak feminisme…

Bayangkanlah sebuah dunia yang begitu indah, dengan burung-burung berwarna-warni, tanaman-tanaman bersulur, bunga-bungaan yang berpendar cahaya di malam hari, dan gunung-gunung yg mengawang di angkasa. Di sana, ada peradaban manusia bertinggi 3 meter berwarna biru, yang begitu menyatu dengan alam. Tiap ujung helai rambut mereka menjadi alat penghubung untuk berkomunikasi dengan alam, untuk mendengarkan suara para leluhur, untuk menyeleraskan pikiran ketika berkendara dengan kuda dan burung.

Lalu aku pun membayangkan betapa menyenangkan menjadi seorang pembuat film di Hollywood, bisa mewujudkan impian seindah dan segila apapun hingga mampu memanjakan mata, bukan hanya di angan belaka…

Ya, dunia utopis itu bernama Pandora. Hanya suatu planet kecil, atau satelit. Penghuni pribuminya disebut kaum Na’vi. Penciptanya adalah James Cameron, yang juga pernah mencipta robot pemusnah dari masa depan bernama Terminator dan juga pernah mereproduksi kejayaan dan kehancuran kapal Titanic…

Wait a minute…. Pandora? Nama itu mengingatkanku pada kisah mitologi Yunani. Sebuah kotak bernama Pandora, yg jika dibuka akan membebaskan iblis di dalamnya. Pandora adalah sebuah paradox yang menjelaskan eksistensi manusia.

Itulah yg menjadi turning point kisah besutan James Cameron. Manusia bumi menginvasi Pandora, terkesima dengan kekayaan alamnya, lalu berniat membedah tanah Pandora untuk mendapatkan Unobtainium. Pilihan nama yg bagus untuk materi yg hanya memicu keserakahan manusia. Apa yg akan terjadi ketika manusia-manusia bumi itu “membuka” Pandora?

Jawabannya tentu saja akan anda temukan dalam film Avatar, film yg disebut sebagai film termahal saat ini…

Jika anda sudah menontonnya, silakan membayangkan diri anda tengah duduk di Rumah Pohon sambil membaca review ini… Jika belum, teruslah membaca sambil membayangkan rupa negeri Pandora… J

Alkisah, manusia bumi yg menginvasi Pandora semakin serakah untuk mengambil kekayaan alam bernama Unobtanium. Di sisi lain, sekelompok ilmuwan berhasil menjalin hubungan dengan suku Na’vi. Caranya dengan membuat ‘avatar’, tubuh buatan sebagai perantara, yg dikendalikan dengan kekuatan pikiran manusia. Dan setiap ilmuwan di sana hanya bisa mengendalikan satu avatar untuk berkomunikasi dengan suku Na’vi.

Para ilmuwan berhasil membangun hubungan baik dengan suku Na’vi, hingga mereka pun bisa berbahasa Inggris, dan para ilmuwan itu bisa pula berbahasa Na’vi. Sementara itu, perusahaan yg didukung militer tengah bersiap menghancurkan pusat peradaban Na’vi—yg berupa pohon raksasa yg menjadi rumah suku Na’vi—demi mendapatkan sumber Unobtainium yg tak terbatas di dasar pohon.

Di tengah mereka, muncul Jake Sully, mantan marinir yg lumpuh, yg menggantikan saudara kembarnya yang telah tewas untuk mengendalikan avatarnya. Pendatang baru ini diharapkan bisa berdiplomasi untuk merelokasi suku Na’vi dari Rumah Pohon mereka tanpa pertumpahan darah.

Kebetulan, ada pertanda dari roh leluhur hingga Jake Sully mendapat kepercayaan kepala suku. Ia pun belajar untuk menjadi bagian dari suku Na’vi, dengan dibantu Neytiri, putri kepala suku.

Hasilnya?

Tentu anda akan dengan mudah menebaknya: Jake Sully mampu menjadi bagian dari suku Na’vi dan menguasai semua keahlian mereka, dan bahkan meraih cinta Neytiri (does it sound so Hollywood?)

Masalah muncul di babak akhir film. Diplomasi Jake dan para ilmuwan gagal. Pohon itu terlalu keramat dan patut dipertahankan sampai mati oleh suku Na’vi. Jalan satu-satunya: perang. Lalu terjadilah perang antara militer bersenjata canggih, dengan suku-suku tradisional berpanah dan pisau. Dan Jake Sully beserta para ilmuwan berada di belakang suku Na’vi.

Jake Sully datang sebagai pahlawan Toruk macto berkendara burung terbesar di Pandora, mengalahkan pesawat2 militer lawan… dan senang sekali menyaksikan sang Jenderal yg menyebalkan mati terpanah (sorry bagi yg belum nonton, ini spoiler… :P..)

Ya, itulah sekelumit kisah kepahlawanan a la Hollywood… yg terus dicoba untuk diperbarui dengan menampilkan konflik yg kekinian dan special effect super canggih.

Bagaimana pun, gambaran negeri utopia bernama Pandora itu sunnguh brilian… Cameron menciptakan Pandora tidak asal-asalan… kita bisa melihat detail tentang Suku Na’vi dan keragaman flora fauna negeri Pandora, dan bagaimana selarasnya kehidupan di sana…

Dan tahukah anda, beberapa suku di pedalaman Indonesia masih hidup harmonis dengan alam—lengkap dengan ritual komunikasi dengan alam dan roh leluhur—sebelum kehidupan modern dan industri perlahan-lahan merambah kehidupan mereka….

First impression: Script-nya berkelas, layak juga kalo masuk Oscar. Konspirasinya tidak begitu rumit, namun karena dibalut dengan beberapa konflik, alur ceritanya jadi mengalir smooth… Kalo soal akting, mungkin cuma Russel Crowe yg menonjol di sini. Secara pas dia memerankan Cal McCaffrey, tipikal jurnalis senior yg kenyang pengalaman di jalanan dan suka melanggar aturan demi mendapat berita. Dia jadi tokoh sentral di sini, dan semua konflik berhubungan dengan dirinya. Konflik utamanya bermula ketika dia meliput berita pembunuhan seorang pencopet-pecandu narkoba yg ternyata berhubungan dengan kematian Sonia Baker, seorang perempuan staf Congressman Stephen Collins (Ben Affleck). Nah, Stephen ini adalah kawan baik Cal, bahkan Anne Collins, istrinya juga ada main dengan Cal (!). Masalahnya, Sonia juga adalah selingkuhan Stephen. Konfliknya adalah, bagaimana Cal melakukan investigasi atas mereka dengan tetap menjaga pertemanan. Hingga kemudian situasi makin pelik ketika investigasi atas kematian Sonia Baker berujung pada sebuah perusahaan intelijen, PointCorp.

Tapi yg menarik bagi saya adalah konflik antara Cal dan Della Frye (Rachel McAdams), yg juga menjadi simbol konflik antara koran dan media online. Cal yg seorang jurnalis koran Washington Globe, seorang jurnalis sejati, agak antipati dengan Della yg juga jurnalis di grup media Globe, tapi menulis untuk versi online. Cal lebih suka menulis fakta dengan mengejar narasumber kunci, sementara Della terbiasa menulis ala blog yg penuh opini dan gosip. Ditambah dengan kemunculan Cameron (Hellen Mirren), sang editor yg menginginkan berita segar untuk menaikkan rating koran yg sudah mulai ditinggalkan pembacanya….

Nah, the point is… konflik internal media itulah yg menurut saya menjadikan film ini mewakili jaman sekarang. Film mengenai konspirasi politisi, intelijen, militer, bukan barang baru lagi. Sudah jamak film tentang konspirasi semacam ini, dan beberapa diantaranya bahkan diangkat dari kisah nyata.

Film ‘State of Play’ agak berbeda dalam menyuguhkan konspirasi. Tokoh jurnalis di film ini muncul sebagai orang awam di luar konspirasi yg mencari kebenaran. Film ini mewakili masa kini dimana media telah berkembang begitu jauh. Berita yg mengandung kebenaran memang masih diharapkan muncul dari koran, namun keberadaan media online yg sangat bebas, dimana setiap orang bisa berpartisipasi membuat kebenaran menjadi kabur. Film ini telah membawa spirit of the age, semangat jaman di mana laporan investigatif jurnalisme koran terkikis oleh jurnalisme praktis media online. Orang lebih suka membaca berita online yg satu dua paragraph menyajikan fakta. Sisanya, yg ramai hadir secara online adalah opini dan gossip yg beredar di antara blog, forum, dan kotak komentar yg biasanya muncul di bawah berita…

Sementara itu, jurnalisme koran yg mengedepankan fakta entah mengapa menjadi kurang diminati…

Dalam film ini juga sedikit disinggung tentang PR (Public Relations). Ada Dominic Foy (Jason Bateman), PR PointCorp yg kemudian jadi narasumber kunci Cal. Lalu digambarkan pula bagaimana ketika kasus ini mulai memanas, Stephen menggunakan jasa seorang konsultan untuk menangani media. Ini juga menarik karena saat ini, public figure juga perlu melindungi (citra) diri melalui penanganan media yg baik. Media saat ini, terutama dimotori oleh televisi dan online media, lebih mencari berita yg praktis atau berita yg heboh sekalian, meskipun pada akhirnya hanya menjadi gossip tanpa fakta yg memadai.

Catatan terakhir, meskipun tema utamanya adalah konspirasi, akan tetapi film ini sebenarnya menawarkan sesuatu yang baru . Titik beratnya lebih kepada konflik di media, dimana kertas koran sudah mulai digantikan oleh media digital. Masalahnya, konten koran tidak serta merta menjadi konten berita online. Dan saya sangat suka scene credit title di akhir film yg menampilkan footage proses pencetakan koran dari mulai pembuatan plat cetak hingga pendistribusian…. Dan headline koran Washington Globe yg sedang dicetak itu adalah akhir kisah konspirasi yg betul-betul twisted ending…..

Setelah hampir delapan tahun menundanya, setelah berkutat selama satu setengah bulan, akhirnya selesai sudah. Telah kubaca Tetralogi Pulau Buru, masterpiece Pramudya Ananta Toer yang legendaris. Tidak ada kata terlambat untuk membaca roman sejarah yang akan jadi karya abadi.

Delapan tahun yg lalu, sebenarnya aku pernah menemukan Bumi Manusia, bagian pertama tetralogi, teronggok di deretan buku-buku sastra di sebuah perpustakaan. Tapi entah mengapa, aku tak pernah meminjamnya. Dan satu setengah bulan yang lalu, ketika aku melihat keempat seri novel itu di perpustakaan kantor, tanpa pikir panjang kuputuskan aku akan membaca habis keempat buku itu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Buku-buku itu menggenggamku, menenggelamkanku ke dalam masa kolonial di awal abad 20. Membaca buku-buku itu adalah pengalaman yang menggelisahkan, tentu saja karena perasaan yg teraduk-aduk dan keinginan untuk terus-menerus membaca buku itu, tanpa henti, karena rasa penasaran akan kelanjutan cerita, karena diri telah tenggelam dalam diri si aku-narator.

Narasi orang pertama dengan Minke sebagai si aku dalam Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah, melarutkan diriku ke dalam kegelisahan jiwa Minke yang terus bergejolak ingin berontak. Pada akhirnya, muncul kesadaran Minke dalam diriku, kesadaran bahwa jaman sesungguhnya belum banyak berubah, keadaan di awal abad 21 ini tidaklah sebaik keadaan di awal abad 20. Masih banyak yang bisa diperjuangkan, masih banyak yg harus dilawan. Kemanusiaan masih harus terus diperjuangkan, kebodohan dan kerendahan moralitas masih harus terus dilawan.

Aku berpikir, jika aku membaca buku-buku itu beberapa tahun yang lalu, mungkin aku tidak berada di sini sekarang ini, mungkin aku telah memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lain, menjadi manusia bebas seperti Minke, yang bebas bergerak dan bertindak, demi alasan humanisme.

Buku keempat, Rumah Kaca, cukup mengejutkan. Si aku sebagai narator dalam buku keempat adalah Pangemanann, seorang pegawai pemerintah Gubermen, pengagum Minke yg sekaligus juga menangkap dan membuang Minke. Membaca Rumah Kaca, diriku terlarut dalam kegelisahan Pangemanann, pegawai pemerintah yg begitu loyal pada pemerintah kolonial, meskipun hatinya sangat mengagumi perjuangan Minke. Tampaknya, Pramudya sebagai seorang humanis tidak ingin menjadikan manusia sebagai antagonis dalam Tetraloginya. Antagonis dalam tetralogi itu adalah sistem, sistem yang merenggut kebebasan manusia, dan memaksa manusia bersaing satu sama lain hanya untuk hidup. Sistem itu dihidupi oleh sebuah ideologi yang tak lekang oleh waktu, yg terus bermetamorfosa dalam berbagai bentuk, seperti virus yg resisten terhadap berbagai perubahan iklim. Dan sistem yang membenarkan manusia untuk saling menjatuhkan itu sekarang mungkin kita kenal dengan nama ‘politik’. Dan ideologi itu sudah lama dikenal sebagai ‘kapitalisme’.

Pesan moralnya adalah, membaca tetralogi ini membentuk kesadaranku, agar memiliki jiwa perlawanan Minke, agar tidak seperti Pangemanann yg terjerumus dalam lembah gelap sistem.

Semoga karya Mbah Pram ini bisa menjadi Jejak Langkah yang tertinggal bagi Anak Semua Bangsa agar di Bumi Manusia ini tidak pernah ada lagi ‘Rumah Kaca’.


detektip

Moral secara sederhana dapat diartikan sebagai nilai positif.  Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Moral adalah nilai-nilai yang dianut dan digunakan sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Penilaian terhadap moralitas diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Perilaku seseorang dianggap baik apabila sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya.

Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Maka, nilai-nilai moral yang dianut masyarakat bukan merupakan produk yang asal jadi. Moral adalah hasil dari perkembangan pengalaman dan pemikiran masyarakat, serta konvensi atau keputusan bersama masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang mempunyai akar kebudayaan sama, cenderung memiliki nilai-nilai moral yang sama. Dari sinilah moralitas kemudian menjadi suatu perangkat yang digunakan masyarakat untuk menilai sebuah kebenaran.

Ketika masyarakat menilai sesuatu sebagai hal yang ‘benar’, maka itulah ‘kebenaran’ yang dianut masyarakat. Dan kebenaran ini adalah hasil pengalaman manusia dalam berinteraksi sosial sehari-hari. Maka, tidaklah salah dalam kasus KPK-Polri, masyarakat lebih memihak kepada KPK, karena berdasarkan pengalaman masyarakat berinteraksi secara sosial dengan polisi– baik sebagai individu maupun sebagai lembaga– telah didapat kesimpulan bahwa polisi bukanlah pihak yang seratus persen ‘benar’. Dalam interaksinya, polisi seringkali berada di posisi ‘tidak sesuai dengan nilai moral’. Saya tidak perlu membeberkan contoh, karena saya yakin setiap orang punya pengalaman atau punya cerita mengenai hal ini…

Di sisi lain, KPK (secara lembaga) tidak berinteraksi langsung dengan masyarakat, maka masyarakat tidak bisa menaksir dengan nilai-nilai moral yang dianutnya apakah KPK benar atau tidak benar. Tetapi sebagai individu, seorang pejabat atau pegawai KPK, tentu juga berinteraksi sosial. Dan sejauh ini, penilaian masyarakat terhadap Bibit dan Chandra menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan polisi, kedua orang tersebut lebih bisa dipercaya.

Moralitas, bagi masyarakat, bisa digunakan untuk men-judge apakah seseorang bisa dikatakan baik atau benar. Tetapi, dalam ranah hukum, tampaknya, sebuah kebenaran tidak bisa didasarkan pada  moralitas…